Wednesday, February 3, 2010

Jejak Langkah (2)


Siang hari yang terik itu dari jendela ruang kerjaku aku melihat beberapa taruna sedang berjalan berkelompok, aku tahu mereka itu sebenarnya tidak sedang latihan baris berbaris, kelihatannya sih baru selesai kuliah. Awalnya aku senyum sendiri melihat mereka, sebagai orang sipil aku heran kenapa jalan bersama saja harus berbaris seperti itu, tapi selanjutnya aku kagum melihat gaya mereka berjalan yang tegap, teratur, berirama, serentak bersama dalam barisan yang rapi.

Kata orang, sifat dan sikap seseorang kadang bisa dilihat dari caranya berjalan atau melangkah, Kalau kuamati, temanku yang gaya berjalannya pelan dan thimik-thimik (bhs Jawa = berjalan dengan langkah-langkah kecil dan pelan) dalam kehidupan sehari-harinya tampak lebih kalem, kadang cenderung agak lamban atau peragu dalam mengambil keputusan.

Sebaliknya mereka yang berjalan dengan cepat kuamati kok biasanya lebih cekatan, tangkas dan efisien, meskipun ada juga yang kesannya jadi tampak nggak sabaran atau grusa grusu dalam kehidupan sehari-harinya. Eh, tapi ini entah benar, entah tidak tidak lho ya, belum terbukti korelasinya. Tapi satu hal yang pasti, derap langkah dan jejak yang ditinggalkan, apapun itu cara dan bentuknya adalah sesuatu yang sangat punya arti dalam kehidupan ini.

Di Jawa ada ritual yang disebut upacara “tedhak siten” (tedhak = idak = injak, siten = siti = tanah)

Upacara ini diselenggarakan untuk seorang anak saat mencapai usia 7 bulan (bulan dalam hitungan Jawa, selapan = 35 hari) saat seorang anak mulai bisa berjalan. Sudah jarang sekali kulihat orang melakukan ritual ini dimasa sekarang ini, mungkin hanya keluarga tertentu saja yang masih memegang keyakinan atau melestarikan adat menyelenggarakannya.

Meskipun lahir dan besar di Jogjakarta, dulu orang tuaku tidak melaksanakan upacara itu untukku, dan dimasa kinipun aku tidak berpikir melakukannya untuk anakku. Bukan berarti tidak menghargai adat tetapi aku merasa cukup menangkap esensinya saja, hal baik yang bisa diterapkan dengan cara lain.

Kehidupan manusia yang dinamis sering digambarkan dengan langkah-langkahnya dalam kehidupan. Saat seorang anak mulai bisa menjejakkan kakinya di tanah dan belajar berjalan, mulailah dia memasuki kehidupan yang sebenarnya, mulailah dia menghadapi dunianya.

Langkah-langkah yang ditempuh seseorang akan meninggalkan jejak yang bisa dilihat oleh orang lain. Secara harfiah, jejak kaki bisa dipakai untuk mengidentifikasi siapa yang sudah melangkah dan meninggalkannya itu. Bahkan jejak-jejak kaki bisa jadi petunjuk tentang suatu tempat arah tujuan langkah si empunya kaki.

Jejak langkah akan tampak berdasarkan cara melangkah, darinya mungkin terlihat arah dan tujuan langkahnya. Manusia hidup tidak sendiri, sekelompok orang mungkin melangkah seperti para taruna yang berbaris rapi tadi, tegap, mantap berjalan sama ke satu tujuan. Sebagian lain mungkin tidak jelas kemana arah langkahnya, jejak yang ditinggalkannya saling bertumpukan tidak jelas, bahkan mungkin jadi tak tampak. Sebagian lagi mungkin meninggalkan jejak istimewa yang jadi inspirasi atau teladan bagi sesamanya.

Berbicara mengenai langkah dan jejak kaki, aku jadi teringat akan puisi indah yang ditulis oleh Mary Stevenson (1936) yang sangat terkenal itu. Puisi indah berjudul Footprints in the Sand ini akan kuterjemahkan secara bebas untuk jadi penutup posting ini.



Suatu malam aku bermimpi
sedang berjalan di pantai bersama Tuhan.
Berbagai adegan kisah-kisah hidupku
tampak berkelebatan di langit.

Pada masing-masing kilasan kisah itu
kulihat ada jejak-jejak kaki di pasir,
kadang ada dua pasang jejak kaki,
kadang hanya satu pasang.

Hatiku jadi risau saat kuperhatikan
bahwa disaat aku berada dalam
kesedihan, penderitaan dan kegagalan,
saat itu ternyata
hanya kulihat satu pasang jejak kaki saja.


Lalu aku bertanya pada Tuhan
“Tuhan, Kau berjanji
bahwa jika aku mengikutiMu
Kau akan selalu berjalan bersamaku.



Tetapi... ternyata....
pada saat aku berada dalam masa-masa yang berat
kulihat hanya ada sepasang jejak kaki disana.
Mengapa disaat aku sangat memerlukanMu,
Kau tak ada disana bersamaku?”



Tuhan menjawab
“Disaat kau hanya melihat sepasang jejak kaki di pasir,
itu adalah saat dimana Aku sedang menggendongmu”


Taken from :
Text is here
Picture is here and here

No comments: